Halaman

Kamis, 11 Februari 2010

Plagiarisme Bisa Sengaja atau Tidak


JAKARTA - Guna mencegah plagiarisme, perguruan tinggi harus selalu memperhatikan mekanisme pengecekan tugas-tugas karya ilmiah yang dihasilkan mahasiswa maupun dosen.

Jika mekanisme dijalankan dengan baik dan benar, hal itu dapat mengurangi kasus penjiplakan karya ilmiah. Perguruan tinggi harus mampu memotivasi agar mahasiswa dan dosen membuat karya ilmiah dengan baik. Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Edy Suandi Hamid mengatakan, ada dua hal yang menyebabkan mencontek atau yang biasa dikatakan plagiat, yakni sengaja dan tidak sengaja.

Namun, tampaknya sebagian besar dari aktivitas itu dilakukan karena tidak mau repot alias sengaja. Plagiat bisa dilakukan siapa saja, mulai mahasiswa S-1 hingga guru besar. Ini merupakan akibat dari masih rendahnya produktivitas akademisi Indonesia dalam menulis ilmiah. Dengan begitu, kerap mengalami kesulitan ketika hendak menulis karya ilmiah. ”Masyarakat kita khususnya akademisi masih kurang terlatih dalam menulis,” kata Edy.

Di UII, Edy menyebutkan, telah sejak awal menyatakan plagiat merupakan aktivitas yang sangat erat kaitannya dengan masalah moral dan etika. Karena itu, “haram” hukumnya melakukan plagiat. Sebab, plagiator sama saja atau boleh dikatakan adalah maling.Kalau tidak ingin dikatakan maling,maka kini saatnya menjunjung tinggi kejujuran intelektual. Untuk mengantisipasi terjadinya aksi plagiat, perguruan tinggi yang dipimpinnya setidaknya melakukan dua hal,yakni melakukan edukasi dan meningkatkan fungsi pengawasan internal.

Edukasi dilakukan untuk meningkatkan pemahaman para mahasiswa hingga dosen dalam membuat karya ilmiah. Sementara, fungsi pengawasan dilakukan untuk memastikan civitas akademika tidak melanggar etika dalam membuat karya ilmiah. Kalau ada civitas akademika yang ketahuan dan terbukti menjadi plagiator, maka pihaknya tidak akan segan-segan memberikan sanksi.

Untuk dosen misalkan saja penundaan kenaikan golongan, penurunan golongan,atau bahkan pemecatan. Sementara,bagi mahasiswa adalah memberikan peringatan keras hingga meminta agar menulis ulang skripsi atau tesisnya. Head of Thesis Committee & Secretary of Postgraduate Program The London School of Public Relations Jakarta Ari S Widodo Poespodihardjo menilai, faktor ketidaktahuan dan kesengajaan menjadi alasan utama terjadinya aksi plagiarisme.

”Tapi, kalau dilihat lebih mendalam,penyebab utamanya selalu mendekati kesengajaan,” kata Ari. Sebenarnya di Indonesia terdapat Undang-Undang Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) yang menjadi rambu bagi seseorang dalam mempergunakan hasil karya atau intelektual orang lain, termasuk karya ilmiah. Namun, sebagian masyarakat Indonesia masih belum sadar atas hal itu. Akibatnya, lebih menyukai mencari jalan pintas untuk membuat karya ilmiah.

Kemungkinan, hal itu disebabkan belum adanya batasan-batasan yang jelas mengenai plagiat. Misalkan saja, apakah mengutip satu kalimat tanpa menyebutkan sumber juga dikatakan plagiat. Selain itu, sistem di Indonesia juga memungkinkan terjadinya plagiarisme. Sebab,di Indonesia belum ada database khusus karya ilmiah yang dihasilkan di Indonesia.

Di samping itu,sanksi sosial kepada oknum plagiator juga relatif minim. Sebagian masyarakat relatif menjadikan persoalan ini sebagai pelanggaran kecil. Karena itu, ketika ada oknum plagiator yang ketahuan melakukan plagiarisme tidak terlalu diperbincangkan.

Kondisi ini berbeda dengan di Singapura dan Malaysia. Di kedua negara itu, plagiarisme relatif minim terjadi karena kalau ketahuan menjadi plagiator akan diberikan sanksi sosial yang keras. Kendati begitu, Ari berkeyakinan, perguruan tinggi di Indonesia sudah melakukan berbagai usaha untuk mencegah terjadinya plagiarisme. Mulai meningkatkan pengawasan internal hingga menyosialisasikan persoalan itu.

Sementara, Ketua Senat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) Hidayat Syarief mengatakan, sejak jauh hari Senat Fakultas Ekologi Manusia IPB telah membahas dan menetapkan definisi plagiat. Salah satunya adalah jika mengutip pendapat orang lain pada kalimat tanpa menyebutkan identitas penulis sebenarnya.

Menurut Hidayat, salah satu upaya mengurangi aksi plagiarisme adalah dengan meningkatkan kemampuan dosen pembimbing. Sebab, dosen pembimbing akan menyeleksi karya ilmiahnya mulai penentuan judul, bimbingan, hingga ujian. Hal serupa juga dilakukan terhadap dosen.

”Kalau ada yang ketahuan menjadi plagiator akan diberikan tindakan tegas. Mulai penundaan kenaikan jabatan hingga dipecat,” kata Hidayat.

Sosialisasi mengenai pentingnya kejujuran dalam membuat karya ilmiah menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap plagiarisme. Dapat dibayangkan, kalau pencapaian sebuah gelar akademik dilakukan dengan cara melakukan kecurangan akademik, tentunya kompetensi keilmuan yang didapatkan seseorang dipertanyakan. (Hermansah/Koran SI/rhs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar